Aku mendapati diriku bertengger di lantai paling
atas kapal, tepatnya di sebuah tempat duduk dekat kantin umum dan sedang
memandangi birunya lautan di kelilingi pulau-pulau yang terbentang nan indah
sejauh mata memandang. Warna pepohonan beraneka ragam, gunung yang menjulang ke
atas di selimuti awan putih dan warna-warni senja terbentang di langit. Sang
matahari berlahan-lahan sembunyi di balik gunung. Puluhan ekor burung kompak bermanuver seperti
ada yang mengomandokan dan bekas jalur kapal di belakang bermunculan buih
berbentuk gari-garis putih yang panjang bagaikan sebuah jalan di tengah lautan,
semakin lama buih-buih itu semakin menghilang di telan birunya lautan.
Aku mendapati diriku berada di sebuah lautan yang di
kelilingi oleh empat gunung yang terkenal hingga ke Eropa, sebuah gunung yang
di juluki sebagai ” Jazirah al-mamluk”
atau Negerinya para raja-raja. sebuah
negeri yang kaya akan suku, bahasa, adat istiadat dan Sumber daya alamnya
yang melimpah. Sebuah negeri yang begitu menarik perhatian bengsa asing karena hasil
rempah-rempahnya.
Di sebelah barat, matahari telah terbenam ke laut,
alam sekitar semakin gelap, gemarlap-gemerlip cahaya lampu penduduk bagaikan
kunang-kunang. Bermilyar-milyar bintang terlihat dengan jelas bergelantungan di
atas langit, pantulan cahaya bulan purnama
di laut memberjelas pandangan mata sejauh mata memandang. Saat itu juga aku
sadar, aku mendapati diriku berada dalam suasana yang baru. Setelah tiga tahun
dalam perantauan di negeri orang. Kini aku kembali mencicipi lagi racikan alam
masa kecilku. Ada beberapa tambahan
bumbu sehingga ku merasa semuanya begitu berbeda rasanya. Liberalisasi dan moderensasi
begitu terasa di bandingkan tiga tahun lalu.walaupun demikian, rasa aslinya
tetap ada. Yeah, rasa kedamain dan kesejukan alamnya masi tetap sama seperti
dulu.
Kapal terus melaju membelah malam dan lautan, ku
baringkan tubuhku di atas kursi panjang, sembari memandangi langit yang di
penuhi dengan bintang-bintang. Ku nyalakan hp sambil dengarin music lalu ku
tancapin headset ke telingaku. Ternyata suara music dapat membuat diriku santai
sesantai santainya. Kepalaku
menganguk-ngakug mengikuti irama music, sesekali tanganku berjoget-joget.
Selang beberapa waktu kemudian secara
tidak sadar diriku berteriak ke lautan yang di sinari cahaya bulan. Penumpang
yang ada di sekitar memandangiku dengan penuh keheranan. Menganggap diriku
kesirupan atau gila. Padahal waktu itu, diriku berusaha meluapkan semua beban
dan masalah yang selama ini mengganggu di pikiranku. Legah rasanya setelah
meluapkan dengan berteriak sekencang-kencangnya. Saat itu juga yang ada dalam
pikiranku hanyahlah senyuman dari orang tua, kecerian dari keluarga dan
teman-teman yang telah menunggu kedatanganku. Di satu sisi, senyum pemilik
sebagian hati ini, mucul dan hilang kemudian muncul lagi. Begitu terus,
bercampur aduk dengan senyum-senyum yang lain. Siapa lagi jika bukan kau
perempuan ku. Yang dengan hanyah mendengar hembusan nafasmu saja aku merasa
nyaman.
0 komentar:
Posting Komentar