Tan Malaka |
Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan dan memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.
_______________________________________________________________________________________________
Setiap penggalan sejarah pemikiran bangsa indonesia selalu melahirkan dan meninggalkan tokoh, ide, dan falsafah hidupnya sendiri. Khususnya dalam bidang pendidikan, ide dan falsafah hidup inilah yang menjadi kebanggaan generasi berikutnya untuk senantiasa di “toleh” untuk diambil “api”-nya dan dinyalakan kembali hari ini. Di antara tokoh penting ranah pendidikan bangsa indonesia adalah Tan Malaka, yang sampai saat ini “api” ide pemikirannya terus digali dan dikembangkan. Dan tulisan ini hannya akan fokus pada suatu warisan penting pengarang Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) itu, yaitu pemikirannya tentang pendidikan yang apatif dan humanis.
Setiap penggalan sejarah pemikiran bangsa indonesia selalu melahirkan dan meninggalkan tokoh, ide, dan falsafah hidupnya sendiri. Khususnya dalam bidang pendidikan, ide dan falsafah hidup inilah yang menjadi kebanggaan generasi berikutnya untuk senantiasa di “toleh” untuk diambil “api”-nya dan dinyalakan kembali hari ini. Di antara tokoh penting ranah pendidikan bangsa indonesia adalah Tan Malaka, yang sampai saat ini “api” ide pemikirannya terus digali dan dikembangkan. Dan tulisan ini hannya akan fokus pada suatu warisan penting pengarang Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) itu, yaitu pemikirannya tentang pendidikan yang apatif dan humanis.
Jika kita berbicara tentang
konsep pendidikannya Tan Malaka, tidak terlepas dari ideologi besar Comunisme, karna ideologi marxisme-sosialisme
menjadi akar dari pemikirannya Tan Malaka. Walaupun marxisme manjadi dasar dari
pemikirannya, tapi terdapat perbedaan antara Tan Malaka dengan konsep
pendidikan marxisme-nya Ceton, Lenin dan Stalin yang memandang pendidikan
sebagai media “mengomoniskan manusia” dan mempertahankan status quo ideologi. Bagi Tan Malaka pendidikan bukanlah “mengomoniskan”
masyarakat indonesia. Mengomoniskan berarti “mengateiskan” manusia, mengateiskan
berarti tidak bertuhan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan
masyarakat indonesia yang mayoritas bertuhan dan beragama muslim, termasuk Tan
Malaka sendiri. Sehingga Tan Malaka lebih melihat pendidikan untuk membangun
kesadaran kritis masyarakat indonesia untuk mewujutkan transformasi ketidak
adilan sosial, membangkitkan jiwa perlawanan atas praktik penjajahan
imperialis-kapitalis asing dan merebut kemerdekaan 100 % dengan menggunakan bingkai
analisis marxisme. Pemikiran seperti inilah yang tidak dipikirkankan oleh
“pentolan-pentolan” komunis lainnya.
Saat Tan Malaka menyelesaikan studi pendidikan gurunya di Rijksweekschool Belanda tahun 1919, Tan
Malaka kemudian kembali keindonesia. Tan Malaka bersama dengan Semaun, darsono
dan Serikat Islam disemarang mereka mendirikan sekolah rakyat yang bertujuan
untuk melawan penindasan kolonialisme, kapitalisme dan liberalisme. Dalam praktik
pendidikan disekolah yang baru itu Tan Malaka melatih para peserta didik untuk
ikut aktif dalam kegiatan organisasi (ekstrakulikuler) yang diminatinya. Di
organisasi itu, para peserta didik
diajarkan berdemokrasi, bersosialisasi, dan berani bicara (orator) didepan
publik. Tan Malaka sangat menolak adanya praktik diktator oleh guru yang
melarang peserta didik untuk mengikuti kegiatan keorganisasian. Maksut dan
tujuan tersebut tidak lain agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya
dan menemukan kepercayaan diri. Bagi Tan Malaka kegiatan keorganisasian membuat
peserta didik dapat saling mengenal dan berkomonikasi dengan yang lainnya.
Selain itu, peserta didik juga belajar mengetahui dan memahami berbagai
karakter psikologis maupun sosial orang lain. Dengan begitu, maka sifat
simpati, empati, dan jiwa kemanusiaan akan terbentuk dengan sendiri. Dalam bukunya
S.I. Semarang dan Onderwijs. Tan
Malaka mengatakan “Dalam hal
organisasinya tadi, kita hampir tidak menolong apa-apa. Karena maksut kita bukan hendak mendidik anak-anak menjadi
Gromopon. Kita mau dia berpikir dan berjalan sendiri”.
Berangkat dari pengalaman Tan
Malaka, dirinya melihat, selain bangsa asing yang menindas ternyata kaum
pribumi terdidikpun juga ikut menindas bangsanya sendiri. Oleh karena itu, Tan
Malaka mendesain praktik pendidikannya yang mengarah pada pembentukan manusia
yang apatif dan humanis. Salah satu cara yang dilakukan Tan Malaka adalah
kegiatan “bersih-bersih” sekolah sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
Menurut Tan Malaka kegiatan “bersih-bersih” bagi anak-anak sekolah elit,
dinilai pekerjaan kelas rendah, akhirnya jiwa manja, malas, feodal, apatis
melekat dalam diri mereka. Peserta didik tidak diajarkan menjadi manusia manja
tetapi mandiri. Maka dari itu, Tan Malaka memasukan “bersih-bersih” sebagai
kegiatan sekolah sehari-hari. Disamping itu dalam “bersih-bersih” juga ada
kegiatan gotong-royong. Sehingga sikap tolong menolong dan menghargai satu sama
lainpun terbentuk dalam kegiatan “bersih-bersih” tersebut.
Selain Tan Malaka sendiri, masih
banyak tokoh pendidikan indonesia lainnya di masa pra-kemerdekaan yang
mendesain bentuk dan ide pendidikan secara sistematis, kultural, progresif,
nasionalis dan kerakyatan. Kita sebut saja Ki hajar Dewantara dengan taman
siswanya membuat salah satu rumusan pendidikan kebudayaan sabagai filter
kebudayaan barat dan media melestarikan khazana kebudayaan indonesia dikalangan
indonesia muda. Tinggal bagaimana kita memandang bentuk dan ide pendidikan itu
sebagai sesuatu yang kadaluarswa atau masih relevan untuk diterapkan.
0 komentar:
Posting Komentar