Sosialisme dan Demokrasi
Sutan Sjahrir |
Nama
Sutan Sjahrir memang terdengar asing untuk anak muda sekarang ini, namanya
tidak banyak menghiasi lembaran buku sejarah.
Hanyah sebatas perdana mentri pertama dan actor perundingan Linggarjati.
Padahal, jika kita kupas lebih dalam lagi, sjahrir merupakan tokoh yang paling
berperan dalam membangun fondasi demokrasi di Indonesia.
Sjahrir dilahirkan di Padang Panjang,
Sumatra Barat, Pada 5 Maret 1909 dengan nama Sutan Sjahrir dan merupakan anak
ke dua dari empat bersaudara. Ia berasal dari keluarga Minangkabau yang
terpandang dan disegani di Kota Gadang, Sumatera Barat. Kakek dan Ayahnya
merupakan jaksa yang bekarja bagi pemerintah Hindia-Belanda. Dalam tubuh
sjahrir mengalir darah bangsawang Mandailing Natal. Sumatra Utara. Ibunya
merupakan keturunan langsung dari Tuanku Besar Sintan dari Natal. Jadi, sejak
kecil sjahrir telah menikmati kemampuan ekonomi dan kehidupan keluarga yang
modern.
Sjahrir. Soekarno. Hatta |
Sebagai anak orang elit saat itu, tentu tidak sulit bagi sjahrir dalam menempuh pendidikan. Di usia 6 tahun, ia
masuk Europeesche lagere School (ELS) atau sekolah dasar Eropa yang merupakan
sekolah terbaik dan modern masa itu. Kemudian ia melanjutkan sekolah tingkat
menengah pertama Meer Uitgbreid lager Onderwijs (MULO) di kota Madan.
Selanjutnya dari MULO, keluarga Sjahrir menyarankan agar sjahrir melanjutkan
sekolanya ke Algemeene middelbare School (AMS) yang saat itu baru ada di pulau
jawa, Bandung. Sebuah sekolah menengah atas termahal di india belanda.
Sjahrir
yang sering di sapa Belanda Cokelat itu pada mulanya bukanlah murid yang
menonjol. Namun dalam perkembangannya, ia memperlihatkan karakter yang pandai
bergaul, pemberani, dan mahir mendebat gurunya. Di saat mendengar pidato Dr.
Cipto Mangunkusumo di alun-alun Bandung. Saat itu, rasa nasionalisme Sjahrir mulai
tumbuh. Ia terpaku dengan semangat kebangsaan, ia mulai aktif dalam perkumpulan
pemuda kebangsaan, bahkan ikut membentuk perhimpunan “Jong Indonesia” dan
Majalah Perhimpunan.
Fakultas Hukum Universitas Amsterdam adalah
tempat sjahrir menempuh studi berikutnya. Kampus yang di dirikan di tahun 60-an
ini berada di kawasan Oudemanhuispoort alias Old Man’s House, tepat di jantung
Amsterdam, Belanda.
Sejak kedatangannya ke negeri Kincir
Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus.
Pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa lebih menarik dari pada
mengikuti belajar mengajar di dalam ruang kuliah. Di Amsterdam, Sjahrir
mendalami Sosialisme sekaligus ikut menenggelamkan diri dalam dalam polemik-polemik
teori sosialisme.
Sjahrir secara sungguh-sungguh berkutat
dengan teori-teori sosialisme, marxisme, dan pergerakan kebangsaan. Ia terkena
dampak semangat zaman atau zeitgeist di
Eropa pasca perang dunia ke I yaitu
firus Marxisme yang menimbulkan iklim perjuangan untuk memperbaiki nasib kaum
buruh yang di ekspoitasi oleh kaum kapitalis.
Untuk memperdalam pengetahuannya
tentang sosialisme, Sjahrir memcari teman-teman ekstrem radikal dan berkelana
ke kiri dikalangan kaum anarkis yang mengharamkan segala hal yang berbau
kapitalisme. Karena mengikuti teman-temannya mendalami sosialisme, Sjahrir
pindah kuliah ke Leiden. Satu jam perjalanan menggunakan kereta dari Amsteram.
Pola piker Sjahrir berkembang cepat
dengan gaya pola pikir barat dan hampir tidak menunjukan bahwa ia orang
Indonesia. Sjahrir menyalami dan memahami teori-teori sosialisme sangat dalam
karena bergaul dengan kelompok social
Belanda. Ia sangat gemar berdikusi tentang politik dan mengupas pemikiran
filsuf sosialis. Dalam pencarian ideology gerakan tersebut, Sjahrir bertemu
dengan Mohammad Hatta yang menempuh pendidikan di sekolah tinggi Ekonomi,
Rotterdam. Hatta juga menjabat sebagai ketua organisasi mahasiswa yang
didirikan tahun 1908, yaitu Perhimpunan Indonesia (PI). Sebuah perkumpulan
pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda.
Kedua orang yang sama-sama merantau itu
segera cocok satu sama lain. Sjahrir pun akhirnya memutuskan bergabung dengan
organisasi tersebut dan aktif sejak
tahun 1929. Pada Februari 1930, saat berusia 21 tahun, ia terpilih sebagai sekertaris PI.
Tidak lama setelah itu, atas permintaan
Mohammad Hatta, pada akhir 1931 Sjahrir kembali ke Indonesia untuk mengembang
tugas politik yakni membenahi Partai Nasional Indonesia (PNI). Waktu itu, banyak
pendiri PNI di tangkap dan di asingkan ke Sukamiskin, harapan Hatta dan Sjahrir untuk membenahi PNI
ternyata tidak sesuai yang diharapkan. PNI pun di bubarkan oleh Sartono yang di
beri mandat sebagai ketua darurat PNI
kala itu.
Sjahrir adalah orang pertama yang
menolak pembubaran PNI dan tidak sepakat dengan di bentuknya Partindo. Ia
secara tegas mendirikan partai sendiri, yakni Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI) yang didirikan di Yogyakarta dengan haluan Sosial-Revolusioner. Singkatan
Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) namanya di samakan dengan
Partai Nasional Indonesia (PNI)
agar menghindari kesalah pahaman Partai Pendidikan Nasional di berina
PNI-Baru.
0 komentar:
Posting Komentar