Sodara-sodara, jojaru deng Ngongare. Ingat torang samua satu baba deng satu bibi, jadi mari torang baku jaga deng baku sayang. upa poma teke dubu de upa poma teke ngamo-ngomo. hinolah posidiahi torang pe daerah deng tong pe kampong masing-masing untuk menuju Halmahera yang lebe baek.
Breaking News
Loading...
Kamis, 11 Juni 2015

Info Post

Sosialisme dan Demokrasi

Sutan Sjahrir
                                                    
Nama Sutan Sjahrir memang terdengar asing untuk anak muda sekarang ini, namanya tidak banyak menghiasi lembaran buku sejarah.  Hanyah sebatas perdana mentri pertama dan actor perundingan Linggarjati. Padahal, jika kita kupas lebih dalam lagi, sjahrir merupakan tokoh yang paling berperan dalam membangun fondasi demokrasi di Indonesia.

Sjahrir dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat, Pada 5 Maret 1909 dengan nama Sutan Sjahrir dan merupakan anak ke dua dari empat bersaudara. Ia berasal dari keluarga Minangkabau yang terpandang dan disegani di Kota Gadang, Sumatera Barat. Kakek dan Ayahnya merupakan jaksa yang bekarja bagi pemerintah Hindia-Belanda. Dalam tubuh sjahrir mengalir darah bangsawang Mandailing Natal. Sumatra Utara. Ibunya merupakan keturunan langsung dari Tuanku Besar Sintan dari Natal. Jadi, sejak kecil sjahrir telah menikmati kemampuan ekonomi dan kehidupan keluarga yang modern.

Sjahrir. Soekarno. Hatta
Sebagai anak orang elit saat itu,  tentu tidak sulit bagi sjahrir  dalam menempuh pendidikan. Di usia 6 tahun, ia masuk Europeesche lagere School (ELS) atau sekolah dasar Eropa yang merupakan sekolah terbaik dan modern masa itu. Kemudian ia melanjutkan sekolah tingkat menengah pertama Meer Uitgbreid lager Onderwijs (MULO) di kota Madan. Selanjutnya dari MULO, keluarga Sjahrir menyarankan agar sjahrir melanjutkan sekolanya ke Algemeene middelbare School (AMS) yang saat itu baru ada di pulau jawa, Bandung. Sebuah sekolah menengah atas termahal di india belanda.

Sjahrir  yang sering di sapa Belanda Cokelat itu pada mulanya bukanlah murid yang menonjol. Namun dalam perkembangannya, ia memperlihatkan karakter yang pandai bergaul, pemberani, dan mahir mendebat gurunya. Di saat mendengar pidato Dr. Cipto Mangunkusumo di alun-alun Bandung. Saat itu, rasa nasionalisme Sjahrir mulai tumbuh. Ia terpaku dengan semangat kebangsaan, ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan, bahkan ikut membentuk perhimpunan “Jong Indonesia” dan Majalah Perhimpunan.

Fakultas Hukum Universitas Amsterdam adalah tempat sjahrir menempuh studi berikutnya. Kampus yang di dirikan di tahun 60-an ini berada di kawasan Oudemanhuispoort alias Old Man’s House, tepat di jantung Amsterdam, Belanda.

Sejak kedatangannya ke negeri Kincir Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus. Pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa lebih menarik dari pada mengikuti belajar mengajar di dalam ruang kuliah. Di Amsterdam, Sjahrir mendalami Sosialisme sekaligus ikut menenggelamkan diri dalam dalam polemik-polemik teori sosialisme.

Sjahrir secara sungguh-sungguh berkutat dengan teori-teori sosialisme, marxisme, dan pergerakan kebangsaan. Ia terkena dampak semangat zaman atau zeitgeist di Eropa pasca perang  dunia ke I yaitu firus Marxisme yang menimbulkan iklim perjuangan untuk memperbaiki nasib kaum buruh yang di ekspoitasi oleh kaum kapitalis.

Untuk memperdalam pengetahuannya tentang sosialisme, Sjahrir memcari teman-teman ekstrem radikal dan berkelana ke kiri dikalangan kaum anarkis yang mengharamkan segala hal yang berbau kapitalisme. Karena mengikuti teman-temannya mendalami sosialisme, Sjahrir pindah kuliah ke Leiden. Satu jam perjalanan menggunakan kereta dari Amsteram. 

Pola piker Sjahrir berkembang cepat dengan gaya pola pikir barat dan hampir tidak menunjukan bahwa ia orang Indonesia. Sjahrir menyalami dan memahami teori-teori sosialisme sangat dalam karena bergaul dengan kelompok  social Belanda. Ia sangat gemar berdikusi tentang politik dan mengupas pemikiran filsuf sosialis. Dalam pencarian ideology gerakan tersebut, Sjahrir bertemu dengan Mohammad Hatta yang menempuh pendidikan di sekolah tinggi Ekonomi, Rotterdam. Hatta juga menjabat sebagai ketua organisasi mahasiswa yang didirikan tahun 1908, yaitu Perhimpunan Indonesia (PI). Sebuah perkumpulan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda.

Kedua orang yang sama-sama merantau itu segera cocok satu sama lain. Sjahrir pun akhirnya memutuskan bergabung dengan organisasi tersebut dan aktif sejak  tahun 1929. Pada Februari 1930, saat berusia 21 tahun, ia terpilih  sebagai sekertaris  PI.

Tidak lama setelah itu, atas permintaan Mohammad Hatta, pada akhir 1931 Sjahrir kembali ke Indonesia untuk mengembang tugas politik yakni membenahi Partai Nasional Indonesia (PNI). Waktu itu, banyak pendiri PNI di tangkap dan di asingkan ke Sukamiskin,  harapan Hatta dan Sjahrir untuk membenahi PNI ternyata tidak sesuai yang diharapkan. PNI pun di bubarkan oleh Sartono yang di beri mandat sebagai  ketua darurat PNI kala itu.

Sjahrir adalah orang pertama yang menolak pembubaran PNI dan tidak sepakat dengan di bentuknya Partindo. Ia secara tegas mendirikan partai sendiri, yakni Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan di Yogyakarta dengan haluan Sosial-Revolusioner. Singkatan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) namanya di samakan  dengan  Partai Nasional Indonesia (PNI)  agar menghindari kesalah pahaman Partai Pendidikan Nasional di berina PNI-Baru.

0 komentar:

Posting Komentar