Selamat
tinggal Soekarno. Anda adalah segalanya bagi
rakyatmu, dulu dan sekarang.
Mereka dulu bertahan hidup bersama
anda disepanjang tahun tahun yang berat. Tetapi kenapa anda tidak lagi datang
ke pasar malam disaat kegepan mulai menyelimuti rakyatmu ? Anda lebih memilih istna Bogor sebagai kerajaanmu, bersantai dengan
istri-istri dan membangun monumen-monumen sebagai bukti kejantananmu.
Para
dictator yang sudah mati, seperti Hitler dan Stalin, memiliki sifat subhuman
yang makin lama makin berkurang, dilihat melalui teleskop terbalik. Mereka
despresi, mereka sama seperti serangga.
Anda tidak memiliki sifat seperti itu Bung Karno, dan itu membuatku
menilai dosa-dosa mu sebagai dosa ringan bukannya dosa besar. Anda tersenyum
padaku sekarang ini dari foto dengan peci terpasang miring. Dan aku membalas
tersenyum miring, sebagaimana dilakukan seorang kepada penjahat yang tidak
dapat disukainya.
Hey, Soekarno. ! Anda adlah
seorang yang tidak memahami Ekonomi, anda adlh seorang anak laki-laki yang
tidak bisa menjumlah. Apa yang anda inginkan untuk diri sendiri dan rakyatmu,
adalah kejayaan. Dan semua orang seharusnya mencintaimu, seperti “Ibu
malaikatmu” dulu mengasihimu. Seperti Sarinah gadis pelayan itu mengasihimu. Hampir
semua orang mengasihmu. Tapi cinta itu harus satu arah, harus datang kpdmu
dalam gelombang. Sementara anda berdiri tinggi diatas pedium dan terbenam
didalamnya. Wayang golongan kanan dan kiri harus mengasihimu, meskipun mereka
tidak dapat saling mencintai ! Ini adlah hak Ratu Adil, yang dapat menyatukan
semua yang berlawanan dalam dirinya sendiri. Dan menyatukan tiga ribu pulau.
Anda bukan sekedar orang Muslim atau Sosialis, anda keduanya, anda juga Hindu
dan Kristen, orang yang mewujutkan Dualistis.
Hei, Soekarno ! Aku selalu mendengar orang-orang
mu bercerita tentangmu pada masa perjuangan belanda, seorang pesakitan politik
terkucil dipulau Flores, duduk seperti Arjuna bersemedi dibawah pohon sukun,
membangun kekuatan jiwamu, kesaktian kanuragamu. Dipuncak pohon sukun, anda
melihat Brahma sang pencipta, dibuahnya yang lonjong, Wisnu sang Penjaga;
dicabang—cabangnya yang mati, Siwa yang Perusak. Anda menyaksikan Samudra, dan
menyebutnya tak terlawan sebagaimana Revolusi anda. Tetapi, apakah sekedar
rovolusi tampa akhir yang Anda inginkan ? atau jiwa anda mendambakan sebuah
peristiwa agung tak bernama dimana “revolusi” sekedar sebutan yang tak memadai,
satu-satunya yang dapat Anda temukan ? samudra bergolak seperti kekuatan dalam
dirimu, yang harus memiki saluran keluar. Tetapi baginya tak ada satupun yang
pernah mencukupi. Karena anda adalah seseorang yang yang di dalam dirinya
kesadaran dan semangat perjuangan saling melawan dengan kekuatan yang setara;
dan mereka tidak akan memberimu jeda, Bung Karno seperti Arjuna, Anda
menggabungkan kemegahan dengan kepalsuan dan egoism yang dingin. Dan jiwa
manusia yang seperti itu tidak akan disempurnakan.
Aku
melihat fotomu sekarang seperti seorang anak kecil_satu dari sekian banyak anak
laki-laki dengan mata bersinar seperti kaca, yang berjongkok menjelang malam
untuk menonton layar terang dan bayangan bayangan meleset kencang di atasnya.
Anda bilang anda akan menjadi Bima: Bima yang kasar, yang kepribadiannya
mengimbangi segala kekasarannya. Tetapi sayangnya Anda berakhir terkurum di dalam
rumah pribadimu dibogor “istana impian Bima suci”, dilecuti dari Kepresidenanmu,
dilecuti dari seragam, berjalan mengenakan singlet dan celana kucel, wajah
bengkak dan tua, diceraikan oleh semua istri kecuali Hartini yang setia_”diam”
katamu, “seribu bahasa”.
Anda
telah gagal memperhatikan nasihat nasihat Krishna, Bung. Dan akhirnya: Segalanya dikuburkan oleh nafsu,
sebagaimana api oleh asap, sebagaimana cermin oleh debu. Dengan ini ia akan
membutakan jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar